Memahami Kemiskinan Secara Multidimensioal

oleh : Anne Maria Juanda, Eva Octaviani dan  Hidayat Syarifuddin

PENDAHULUAN
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan juga masih menjadi isu sentral di Indonesia. Angka kemiskinan yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun sepertinya belum pernah berkurang begitu banyak. Malah belakangan ini angka tersebut semakin besar karena begitu dahsyatnya pengaruh krisis moneter yang berimbas pada krisis ekonomi. Laju inflasi yang semakin besar dan tidak sesaat menjadi pelengkap keterpurukan warga masyarakat. Berdasarkan laporan BPS, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sudah mencapai 39,05 juta (17,75 persen). Jumlah yang tidak sedikit.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam penanganan masalah kemiskinan di Indonesia. Namun usaha tersebut dirasa belum membuahkan hasil yang signifikan. Banyak pengamat berpendapat bahwa penanggulangan kemiskinan memiliki beberapa kekeliruan diantaranya: pertama, penganggulangan saat ini masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional seperti dalam konteks budaya dan konteks dimensi struktural atau politik. Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) daripada produktivitas, sehingga masyarakat miskin akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Ketiga, memposisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek. Keempat, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerapkali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan untuk merumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan.

GAMBARAN UMUM KEMISKINAN DI INDONESIA
Indonesia masih menghadapi masalah kemisknan yang antara lain ditandai oleh jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di tahun 1970 berjumlah 70 juta jiwa (60%) turun menjadi 22 juta jiwa (11%) pada tahun 1997, tetapi meningkat pesat menjadi 80 juta jiwa (naik sekitar 400%) pada tahun 1998 ketika krisis ekonomi Indonesia (Tabel 1).


Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,962, dimana diantara beberapa negara ASEAN masih lebih rendah dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,178 masih lebih tinggi dari Philipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya (Herawati, 2007).
    Meskipun proporsi penduduk miskin secara rasional mengalami penurunan, namun masih terjadi kesenjangan antardaerah dalam pembangunan manusia (IPM) dan pemenuhan terhadap beberapa hak dasar (IKM).Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi di perkotaan. Data Susenas (National Socio Economic Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 persen penduduk di pedesaan termasuk miskin, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian(Herawati, 2007)..
    Selain itu, tantangan lainnya adalah kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (GEM) (Herawati, 2007).
    Kondisi lain adalah otonomi daerah yang berdampak pada meningkatnya peran pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan, sehingga peran pemerintah sangat penting untuk keberhasilan penaggulangan kemiskinan secara nasional terutama dalam hal mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat.

KONSEP KEMISKINAN
Williamson dalam Adianti (2005) mengatakan bahwa penduduk tanpa sumberdaya ekonomi untuk hidup dengan standar kehidupan yang layak disebut sebagai orang miskin. Aluko dalam Adianti (2005) menyatakan bahwa kemiskinan sebagai kekurangan dari konsumsi kebutuhan-kebutuhan dasar. Dengan kata lain adalah kekurangan dalam konsumsi makanan, pakaian, atau tempat tinggal. Kemiskinan juga didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mendapatkan standar kehidupan minimum.
Chambers (dalam Nasikun, 2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, ketentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Ditinjau dari indikatornya konsep kemisikinan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan relative, dan kemiskinan subyektif  (Aprinova, 2006).
    Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokonya, seperti untuk makan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penentuan kemiskinan absolute ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau ‘ garis kemiskinan’ (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator.
    Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok, yang dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat atau kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
    Ketiga, kemiskinan subyektif adalah kemiskinan yang dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri mengenai kondisi social-ekonominya. Konsep kemiskinan ini tidak mengenal batas garis kemiskinan, dan tidak memperhitungkan penghasilan rata-rata penduduk. Orang yang menurut ukuran kita berada di bawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya miskin, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dengan orang yang menurut perasaan kita tergolong hidup dalam kondisi tidak layak, bisa jadi tidak merasa dirinya demikian, begitu pula sebaliknya.
    Ditinjau dari sumber penyebabnya kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan structural. Kemiskinan cultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi social budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah karakteristik yang umumnya dianggap sebagai cirri-ciri kemiskinan kultural.
Kemiskinan structural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Kemiskinan struktural dapat pula disebabkan karena kondisi geografis yang terisolir.
Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: 1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sector informal), setengah menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan social lainnya (Salim, 1980).
Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas daru strategi pembangunan yang dianut suatu Negara. Program-program yang telah dilakukan untuk memerangi kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang menggembirakan karena adanya perangkap kemiskinan (poverty trap) yang tidak berujung pangkal.
Skema 1. Perangkap Kemiskinan (poverty trap)



PENYEBAB KEMISKINAN
Penyebab kemiskinan itu sendiri tidak hanya karena satu faktor tetapi merupakan kombinasi dari banyak faktor. Ajakaiye dan Adejeye dalam Adianti (2005) yang melakukan penelitian di negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah:
a.    Kinerja pertumbuhan ekonomi yang rendah
Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Di beberapa berkembang, pertumbuhan menghasilkan kesempatan kerja dan diharapkan dengan berbasis ekspor diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sehingga kemiskinan dapat dikurangi melalui pemerataan. Faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan di suatu negara, perubahan permintaan pasar dunia terhadap barang ekspor suatu negara akan mempengaruhi pertumbuhan di negara tersebut sehingga akan berdampak pula pada kemiskinan di negara itu.
b.    Kegagalan kebijakan dan goncangan makroekonomi
Banyak perekonomian di dunia yang menghadapi ketidakseimbangan makroekonomi, umumnya dalam neraca pembayaran karena kebijakan perluasan permintaan agregat, guncangan neraca perdagangan, dan bencana alam. Guncangan makroekonomi dan kegagalan kebijakan berdampak pada peningkatan kemiskinan, karena kondisi ini memberikan kendala bagi orang miskin untuk menggunakan asset terbesarnya yaitu tenaga kerja.
Kemiskinan di perkotaan sebagai hasil dari kebijakan adalah mudahnya kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) di sector public atau karena penurunan pertumbuhan sector industry.
c.    Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah
Sumberdaya yang berlimpah di penduduk miskin adalah tenaga kerja, oleh karena itu pasar tenaga kerja sangat penting untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah dapat mempengaruhi orang miskin melalui pertumbuhan kesempatan kerja dan kapasitas tenaga kerja di sector informal yang terbatas.
d.    Migrasi
Tingkat migrasi dapat mengurangi kemiskinan khususnya ketika sebagian besar migrant adalah pekerja yang mempunyai keterampilan. Di suatu sisi, migran berpindah untuk mengisi pekerjaan di pasar kerja, sehingga ketrampilan akan mengalir melalui migrasi. Hal ini akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi dan menurunkan proses penciptaan lapangan pekerjaan secara keseluruhan dan juga mempengaruhi pada pembangunan jangka panjang suatu negara.
e.    Pengangguran dan setengah menganggur
Pekerjaan adalah kunci faktor dari kemiskinan, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan dapat digunakan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan (income poverty). Penduduk miskin berhadapan dengan masalah pengangguran structural karena kekurangan keterampilan atau rendahnya tingkat pendidikan. Setengah  pengangguran terjadi secara luas di sector informal dan menghasilkan pendapatan yang rendah. Pengangguran lebih disebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dibandingkan dengan pengaruh langsung dari pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, meskipun peraturan di pasar tenaga kerja mempengaruhi sector formal yang sepertinya mendorong lebih banyak setengah pengangguran di sector informal.
f.    Pengembangan sumberdaya manusia
Pengembangan kemampuan dan modal manusia dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan. Investasi pada manusia dapat meningkatkan standar hidup dari rumahtangga dengan memperluas kesempatan, meningkatkan produktivitas, menarik investasi capital, dan meningkatkan kemampuan untuk mencari nafkah.
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki, yaitu :
a.    Natural assets : seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.
b.    Human assets : menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
c.    Physical assets : minimnya akses infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi pedesaan.
d.    Financial assets : berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha.
e.    Social assets : berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik (Nasikun, 2001).
KEMISKINAN DALAM DIMENSI EKONOMI
Dimensi ekonomi dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang, baik secara finansial maupun semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dikategorikan miskin jika seseorang atau keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimnya, seperti : sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Kemiskinan dalam dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati, diukur, dan diperbandingkan. Ada beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia, yaitu :
a.    Biro Pusat Statistik (BPS)
BPS menetapkan garis kemiskinan didasarkan pada besarnya jumlah pengeluaran pangan yaitu kurang dari 2100 kalori  per orang per hari dan pengeluaran nonpangan pada keluarga. Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk.
b.    Sayogyo
Tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumahtangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.
c.    Bank Dunia
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari.
d.    Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
Mengidentifikasi keluarga miskin berdasarkan indikator kualitatif antara lain : makan<2 kali per hari, sebagian besar lantai dari tanah, tidak mempunyai pakaian yang berbeda untuk beragam aktivitas, makan daging/telur minimal sekali per minggu, membeli baju minimal sekali per tahun dan luas lantai rumah rata-rata <8 m2 per orang.
Penetapan pengukuran dan kriteria kemiskinan secara nasional sangat sulit. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang kompleks baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, psikologik, dan geografik yang sangat bervariasi di Indonesia.
KEMISKINAN DALAM DIMENSI KESEHATAN
Banyak data dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa kemiskinan sangat berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian. Tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan rendahnya kesempatan memperoleh berbagai fasilitas kesejahteraan sosial akan mempersulit terpenuhinya berbagai keperluan pangan bergizi atau kemampuan untuk menangkis penyakit, sehingga tidak mengherankan apabila di lingkungan mereka tingkat kematian bayi tinggi. Berbagai macam penyakit mengancan mereka akibat lemahnya daya resistensi dan imunitas yang merupakan akibat rendahnya status gizi (Hardinsyah, 2007).

KEMISKINAN DALAM DIMENSI SOSIAL DAN BUDAYA
Dimensi sosial dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivtas seseorang meningkat. Kekuatan jaringan tersebut disebabkan oleh dua faktor penghambat yaitu dari diri seseorang atau kelompok (misalnya karena tingkat pendidikan atau hambatan budaya), dan hambatan dari luar kemampuan seseorang (misalnya karena birokrasi atau peraturan yang dapat mencegah mereka memanfaatkan kesempatan yang ada).
Kemiskinan juga dapat muncul sebagai akibat nilai budaya yang dianut kaum miskin itu sendiri, yang berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai dan perilaku kemiskinan secara turun temurun, akibatnya perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan tersebut. Selain itu, aspek budaya dan etnik juga berpengaruh memelihara kemiskinan. Pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, adat istiadat yang konsumtif juga banyak mewarnai masyarakat pedesaan seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran dan bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan karena prestise dan keharusan budaya.

KEMISKINAN DALAM DIMENSI SOSIAL POLITIK
Dimensi sosial politik dari kemiskinan lebih menekankan pada derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya. Kemiskinan politik merupakan gejala yang secara tidak langsung berpengaruh pada pengembangan kreativitas manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya berpengaruh pada kualitas manusia. Kebijakan pemerintah dalam kerangka sosial politik disengaja atau tidak, sebagian diantaranya justru menyebabkan kemiskinan.

KEMISKINAN DALAM DIMENSI PENDIDIKAN, AGAMA DAN BUDI PEKERTI
 Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa. Tidak terkecuali, keadilan dalam memperoleh pendidikan harus diperjuangkan dan seharusnya pemerintah berada di barisan terdepan untuk mewujudkannya.
Pendidikan agama dan budi pekerti sangat penting untuk penanaman nilai-nilai agama dan budi pekerti terutama bagi anak-anak dan pemuda. Strategi pengentasan kemiskinan seharusnya tidak terpaku pada aspek ekonomi dan fisik asaja, tetapi aspek nonfisik (rohaniah) juga perlu mendapatkan porsi yang cukup dalam kebijakan ini.

PENUTUP
Kemiskinan  akan menjadi topik dalam berbagai diskusi dan perdebatan di masa datang karena secara global telah ada kesepakatan untuk membangun dunia dan memerangi kemiskinan guna menciptakan perdamaian dunia. Masih diperlukan kebijakan yang komprehensif dan terus-menerus untuk memerangi kemiskinan dalam berbagai dimensi, termasuk dimensi kesehatan dengan kebijakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi orang miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Adianti, Gandari. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di DKI Jakarta. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aprinova, Chandra. 2006. Pemberdayaan Komunitas Miskin. Disertasti. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Biro Pusat Statistik (BPS).2006. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006. Berita Resmi Statistik No.47/IX/1 September 2006.
Hardinsyah.2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Pengentasan Kemiskinan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Herawati, Tin. 2007. Diktat Mata Kuliah Gender dan Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor.
Kompas. Ironi Kemiskinan di Negeri Kaya. 9 April 2005
Nasikun.2001. Diktat Mata Kuliah Isu Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Adminisatrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Salim, E. 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta : Idayu.

Previous
Next Post »