PENGASUHAN DALAM MASYARAKAT JAWA DI JAWA

-->
Anak- anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun bangsa dan negara. Anak adalah modal pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik, mental dan sosial Indonesia, karenanya pembinaan dan pengembangan emosi anak yang optimal dibutuhkan untuk menyiapkan potensi manusia yang teguh dan berkualitas.
Anak membutuhkan kemampuan untuk berfikir, mengaplikasikan, menganalisis, mensintetis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dalam menghadapi masa depan, untuk dapat mengambil keputusan yang benar. Peran orangtua dan keluarga sebagai unit sosial yang pertama dan utama mensosialisasikan nilai- nilai menjadi sangat penting dalam mempersiapkan kemampuan anak tersebut,. Pengasuhan sebagai peran orangtua dan keluarga harus mampu mengiringi peran pendidikan formal, sehingga kualitas anak yang terbentuk mampu menjadi sumberdaya tangguh dan unggul.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga juga merupakan tempat terbentuknya karakter seorang anak yang akan mempengaruhi perannya sebagai individu pada saat dewasa dalam masyarakat. Pola pengasuhan yang ada di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi perkembangan individu. Di satu sisi, anak adalah pewaris, penerus dan calon pengemban bangsa. Oleh karena itu,keberhasilan pengasuhan di dalam keluarga akan mempengaruhi masa depan bangsa nantinya. Peran orangtua dan keluarga melalui pengasuhan tidak bisa terlepas dari nilai- nilai sosial budaya yang ada dalam komunitasnya (Wallace dalam Taryati, 1994).
Budaya yang ada dalam suatu komunitas mempunyai peranan penting dalam menyediakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan anak. Pada umumnya orangtua belajar dari budaya setempat tentang peran yang harus dilakukannya dalam mengasuh anak. Oleh karena itu, jika budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai- nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua kemungkinan juga berdampak positif terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, jika ternyata keyakinan yang ada dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya factor resiko, maka nilai- nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan perkembangan yang negatif pada anak.
Orangtua harus berperan sebagai buffer antara anak dan lingkungan. Orangtua mengajarkan nilai dari budaya mereka kepada anak dan budaya yang umum berlaku pada masyarakat dan mengajarkan realitas sebagai anggota ras/suku tertentu dan bagaimana mengatasi perbedaan dengan realitas yang ada sehingga memperoleh rasa bangga sebagai suatu suku bangsa bagi perkembangan anak sendiri.
Masyarakat Jawa salah satu bagian dari bangsa Indonesia, mempunyai budaya yang khas, termasuk di dalamnya cara pandang dan hal- hal yang terkait dengan anak. Budaya ini terus menerus dikembangkan,agar apa yang menjadi cita- cita para leluhur dapat tercapai, yaitu terbentuknya masyarakat Jawa yang berbudaya. Keragaman budaya ini dapat mempengaruhi proses pengasuhan yang terjadi dalam masyarakat Jawa.
Dalam kebudayaan Jawa, orang yang sudah memasuki usia dewasa tidak hanya mempunyai kewajiban untuk mempunyai anak (keturunan), namun juga harus memperhatikan kesejahteraannya, mendidik mereka dengan baik hingga dewasa atau kadang diistilahkan menjadi orang Jawa (Mulder, 1985). Tanggungjawab ini termasuk di dalamnya menyediakan bekal- bekal untuk menjalani kehidupan. Proses ini dilakukan sejak sebelum ibu atau orangtua melahirkan anaknya. Dalam menyambut kelahiran anak, orangtua memasuki keadaan prihatin . Kedua orangtua, terutama ibunya, akan mengurangi makan dan melakukan pantangan- pantangan lainnya dan mengadakan slametan untuk menjamin kehamilan dan kelahiran yang baik, diantaranya slametan mitoni yang diadakan pada bulan ketujuh kehamilan. Setelah kelahiran pun, diadakan slametan lainnya, diantaranya upacara tedhak siti , yaitu ritual yang memberikan kesempatan kepada anak untuk “turun ke tanah” atau menapakkan kakinya di atas tanah. Siklus slametan tidak hanya berhenti disini, tetapi dirayakan pada semua masa krisis kehidupan sampai masa pernikahan (Depdikbud, 1981).
Aktivitas ritual- ritual tersebut dianggap memiliki arti yang cukup besar dalam perkembangan anak, namun orangtua menyadari bahwa kewajiban utama orangtua adalah menjaga agar anak- anaknya menjadi orang (dadi wong), yaitu menjadi anggota yang terhormat dalam masyarakat. Anak yang baru lahir hanyalah satu individu yang memiliki keunikan tersendiri, sehingga harus dididik dengan baik. Selama proses pendidikan, anak dididik agar mengetahui aturan- aturan budaya Jawa. Kesadaran pentingnya kebudayaan ini dinyatakan dalam pandangan bahwa anak- anak durung Jawa, yaitu belum menjadi orang Jawa, belum mengetahui aturan kehidupan dan masih dikuasai oleh dorongan naluriah dan emosi- emosinya (Mulder, 1985). Mereka dilatih sedikit demi sedikit untuk menguasai diri mereka sendiri. Mereka harus diisi seabagaimana adanya, dengan aturan – aturan kehidupan dan pengetahuan mengenai kebudayaan mereka (Taryati, 1994). Dengan kata lain orangtua melakukan proses internalisasi kebudayaan berdasarkan tahapan perkembangan anak, sehingga dihasilkan pemahaman yang baik.
Proses pengasuhan anak dalam masyarakat Jawa dilakukan sejak kecil. Hal ini tidak jauh berbeda dengan tujuan pengasuhan pada umumnya. Sejak kecil, anak dibuat untuk merasa kerasan dalam lingkungan rumahnya yang hangat, sehingga rasa kepercayaan yang mendalam khususnya kepada ibu tumbuh pada diri anak, karena pada umumnya ibu menjadi pengasuh utama. Selain itu rasa ketergantungan kepada hal- hal yang lain juga mulai tumbuh. Rasa kepercayaan dan ketergantungan ini dapat diperkuat sejalan dengan proses pengenalan dunia luar.
Beberapa aktivitas dalam praktik pengasuhan yang dilakukan masyarakat Jawa bertujuan untuk menanamkan rasa malu (isin), yang diharapkan dapat menjadi suatu sikap yang tertanam dalam diri anak sehingga memiliki kemampuan menguasai diri, sekurang- kurangnya dalam tingkah laku yang bisa dilihat dan rasa itu juga dapat memberi sumbangan kepada perkembangan rasa hormat kepada orang lain dan keinginan untuk menghindari pertikaian dan konfrontasi (Taryati, 1994).
Selain rasa malu, pada anak dalam budaya Jawa, akan berkembang rasa sungkan sebagai pengaruh dari hubungan dengan orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya. Sikap ini berkembang pertama kali dari pertumbuhan hubungan yang segan- segan dengan ayahnya sendiri, yang biasa terjadi pada usia 10 sampai 12 tahun, dengan kecenderungan mencoba menghindarkan diri. Pada saat itu anak diharapkan untuk berbahasa Jawa halus (krama) yang resmi untuk berbicara dengan ayah. Sejak saat itu dan seterusnya anak diharapkan untuk mengenal lebih banyak lagi adat-istiadat, tatanan, dan sopan santun yang mengatur hubungan bermasyarakat (Taryati, 1994). Di dalam proses pengenalan aturan- aturan yang ada, anak memerlukan role model, dalam hal ini orangtua. Ayah menjadi sosok yang otoriter dan ibu menjadi sosok yang melindungi.
Para orangtua Jawa tampak tidak memandang anak- anak mereka secara sangat posesif. Selama dalam asuhannya, anak harus menuruti petunjuk- petunjuknya, tetapi anak mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri. Seringkali anak- anak diberikan kesempatan untuk diasuh saudara dekat yang tidak punya anak atau kepada keluarga dari sanak saudara atau orang lain yang mempunyai sarana lebih baik dan lebih unggul dalam pengalaman dan kebijaksanaan, dimana anak dapat memperoleh manfaat darinya. Kebiasaan ini sering disebut dengan ngenger, yang berarti mengabdi pda seorang yang lebih unggul. Sekalipun orang tua mungkin mengetahui bahwa pengabdian ini seringkali tidak menyenangkan bagi anak yang bersangkutan, namun mereka memberikan alasan kepada anak, bahwa anak akan mengalami pendidikan berat. Anak akan mengalami liku- liku kehidupan pada usia muda untuk dapat merasakan kesukaran dan kemudian akan merasakan kesenangan apabila keadaan menjadi lebih baik. Proses pengabdian juga dapat ditemui di lingkungan pondok pesantren Islam tradisional, dimana para murid harus tunduk kepada guru (kiai).
Seorang guru, orangtua, dan terutama ayah harus menjadi obyek penghormatan (jimat pepundhen), dihormati dan dimuliakan karena pengayoman yang diberikan (Mulder, 1985). Di bawah pengayoman inilah anak akan mengembangkan diri hingga menjadi pribadi yang tidak tergantung orang lain. Hal inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan Jawa dan kekhawatiran orangtua berakhir ketika anak menikah dan berusaha melanjutkan kehidupan dengan membangun keluarga sendiri. Pernikahan menandai berkahirnya tugas orangtua. Pada masa lalu, orangtua berperan dalam proses pernikahan diatur agar mendapat pasangan yang cocok bagi anak- anak mereka. Hal ini sudah mulai saat ini, namun demikian, persetujuan orangtua terhadap pernikahan anak menjadi hal yang diutamakan, sehingga dengan adanya restu dari orangtua anak- anak akan berharap suatu eksistensi yang slamet. Kepuasan orangtua muncul ketika anak- anak patuh terhadap keinginan dan petunjuknya. Mereka juga berharap agar anak- anak mendapatkan jodoh yang serasi dan juga dihormati serta memperoleh sukses dalam hidup.
Secara umum nilai- nilai budaya Jawa yang menjadi pedoman masyarakat Jawa dalam proses pengasuhan anak memiliki makna bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang harus dididik dengan baik agar mengetahui aturan- aturan budaya Jawa serta memiliki kepribadian yang baik. Aspek- aspek yang menjadi perhatian dalam proses internalisasi budaya dalam proses pengasuhan masyarakat Jawa meliputi pembinaan nilai keagamaan, tata karma (sopan santun), ketaatan kepada orangtua, disiplin dan tanggung jawab, dan kemandirian.

DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud.1981. Upacara Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.
Rostiyati, dkk. 1994. Fungsi Upacara Tradisional bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan.
Taryati, dkk. 1994. Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Previous
Next Post »